Rona Lucy

Juni 04, 2019

Tulisan ini adalah cerita pendek saya yang jadi bagian dari E-Book antologi Warna-Warni Kehidupan yang ditulis oleh member komunitas penulisan online, Pena Penulis dan diterbitkan oleh Baris Aksara sebagai trial menjadi penerbit E-Book. Tak perlu mengira-ngira, penerbitan pertama Baris Aksara adalah kecacatan absolut; layout kaku, cover yang monoton dan langkah promosi yang buruk. Itu kenapa penjualan sejak tahun kemarin hanya sampai satu copy saja di Play Store Books. (Saya tertawa miris, kalian seharusnya seperti itu juga dengan sedikit sinis).


Karena E-Book tidak laku, saya pikir, saya terbitkan saja sedikit bagian dari E-Book itu secara gratis. Toh, ceritanya punya saya dan siapa tahu bisa jadi teaser yang menarik dan akhirnya kalian --entah kenapa-- memutuskan untuk membeli salinan penuhnya di Play Store. (Saya tertawa sambil berharap, kalian seharusnya iba). Enjoy!





RONA LUCY


Related image
Mentari memantapkan posisinya di puncak langit, mengantarkan panas yang bercampur dengan jutaan molekul polutan dan hangit. Kali ini, cahaya dan panas jadi lebih ganas buatku, seperti matahari sedang nafsu-nafsunya menyiksaku dengan kombinasi kuasanya dan kaus hitamku. Aku hanya berharap kacamata gelapku dan pohon-pohon di hutan ini melindungiku dari niatan matahari untuk membutakanku. Aku melihat sekitar, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengalihkan perhatianku dari peran menjadi menu makan siang raja langit.
Di ujung pandang, aku melihat seseorang sedang berjalan memunggungiku dan kemudian menghilang di balik sebuah pohon besar. Aku sedikit memicingkan mataku, berusaha memfokuskan pandangan yang sedari tadi seakan-akan bergelombang. Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa orang yang tadi menghilang begitu saja di balik sebuah pohon adalah manusia biasa. Lagian, ini hutan raya di tengah kota megapolitan, pasti ada orang lain selain aku. Dan ini siang bolong, hantu pasti malas untuk keluar dari sarangnya dengan panas seganas ini.
Dengan langkah pasti, aku mendekati pohon di mana orang tadi tiba-tiba menghilang. Aku mengelilingi pohon itu tapi tidak menemukan siapapun atau sekadar jejak kalau seseorang pernah menginjak area ini. Aku memutari pohon itu sekali lagi, sekali lagi dan tetap tidak kutemukan apapun. Pandanganku malah jadi semakin bergelombang, tanah terlihat berkelok-kelok dan naik-turun, batang pohon-pohon ini terlihat mengembang dan mengempis seperti orang yang sedang bernapas, aku melihat ke atas dan aku rasa matahari ingin membunuhku. Aku memejamkan mata.

Di kegelapan kelopak mataku sendiri, aku bisa melihat sesuatu yang tak aku lihat ketika mataku membuka. Aku melihat pola-pola warna yang cantik silih berganti melewati latar gelap pekat. Semakin lama, pola-pola itu semakin bercahaya dan semakin cantik. Semakin lama juga, pergantian pola-pola itu semakin intens, semakin cepat. Apa yang aku dapati di kegelapan ini tidak lebih baik daripada yang aku lihat di luar sana.
Kecepatan bergantinya pola itu terlampau gila, aku ingin membuka mata tapi aku tidak bisa. Aku jatuh tersungkur ke tanah, perutku mual, aku bisa merasakan keringat keluar dari tiap pori-poriku dan aku tetap tidak bisa membuka mata. Tanganku mencoba meraih entah apa, meraup dedaunan, menggaruk tanah; apapun yang bisa tanganku temukan. Semakin jauh tanganku menjelajah, aku merasakan ada sepasang tangan lain yang tenang menggenggam punyaku yang menjalang. Sesaat setelah tanganku bersatu dengan tangan siapapun itu di luar sana, apa yang menerorku di kegelapan berhenti seketika.
Napasku memburu, badanku basah kuyup karena keringat. Aku mencoba membuka mata, pelan-pelan aku melihat cahaya; lembut, hangat dan menenangkan. Jauh berbeda dengan cahaya matahari sebelumnya. Setelah mataku terbuka sepenuhnya, pandanganku menyapu pangkal lengan hingga ujung untuk kemudian aku melihat sepasang tangan lain sedang mengelus tangan kananku. Tangan yang lembut, jemari yang lentik, kuku dan kulit yang bersih. Aku mendongak dan melihat siapa pemilik tangan itu. Setelah disiksa sedemikian rupa oleh entah apa, sepertinya aku diberikan obat berupa wanita yang wajahnya bersih dan bercahaya semacam Buddhist yang menghabiskan waktunya hanya untuk bermeditasi. Wanita itu tersenyum. Rasanya aku mengenalinya. Wanita itu tidak membuka mulutnya sedikitpun tapi aku bisa mendengar suara riangnya di kepalaku, “Hai, kita ketemu lagi.”. Ya, aku mengenal wanita ini.

“Aku kenal kamu, kan?” tanyaku. “Tapi aku gak ingat siapa dan dimana … dan kapan.”

“Kamu kan memang pelupa,” katanya sembari menyunggingkan senyum satir di bibirnya.
Aku berdiri dan membersihkan tubuh dan pakaianku. Wanita itu ikut berdiri dan memandangku tanpa berkata apa-apa. Aku mengamati wanita itu, berusaha memanggil kembali ingatanku tentangnya yang terkubur entah di bagian otak yang mana. Ia terkekeh melihatku memandangnya lekat-lekat dengan kebingungan yang tersurat.

“Udah ada jawaban?” ia bertanya dengan sedikit memiringkan kepalanya. Astaga. Lucu.

“Kamu … pertama kali kita ketemu … bukan di sini, kan?”
Ia tak menjawab, namun ia berjalan mendekatiku. Wajahnya tenang dan sejuk, tangan kanannya terentang ke arahku sedangkan tangan kirinya menyentuh pohon besar yang menghilangkan keberadaan orang yang tadi aku lihat. Eh, tunggu, apa orang yang tadi aku lihat itu wanita ini? Sebelum aku bisa memastikan jawaban dari pertanyaanku, jari telunjuk wanita itu sudah menyentuh keningku, tepat di tengah-tengahnya. Seketika, aku merasakan perasaan aneh. Tak bisa aku jelaskan. Terlampau rumit untuk kata-kata tapi juga semudah susunan abjad. Mulutku menganga bingung, ada yang aku terima dari sentuhan wanita itu di keningku. Hangat, nyaman, menuntun mataku untuk kembali menutup dan menyerahkan semuanya pada kegelapan. Sederet ingatan melewati mata gelapku, ingatan yang justru tak kuingat pernah aku lewati, tapi aku tahu ini semua adalah ingatanku. Aku membuka mata.

“Pergilah ke tempat kamu pergi,” katanya.

“Lucy?” Aku ingat namanya.

“Pergilah ke tempat kamu pergi,” katanya lagi.

“Apa maksudmu?”

“Kau tak pernah mengerti, meski aku memberikan apa yang aku punya berkali-kali.” Kalimat itu malah membuatku makin bingung.

“Lucy, sekarang aku ingat nama kamu. Kenapa kamu di sini?”

“Bukan nama yang harus kamu ingat. Banyak hal yang lebih penting yang harus kamu ingat. Kenapa kamu di sini?” Ia malah bertanya balik. Anehnya, pertanyaan simpel itu seperti menusuk ke ulu hatiku. Lidahku kelu, otakku keram, aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, ia melepas tangannya dari keningku.

“Pergilah ke tempat kamu pergi,” katanya sembari melangkah mundur. Menjauh dariku.

“Hey, tunggu! Apa maksudmu?”

“Pergilah ke tempat kamu pergi.” Ia mundur makin jauh dan mulai memudar.

Wujudnya memudar, bertransformasi menjadi sekumpulan warna yang berputar spiral. Warna-warna itu asing di mataku tapi akrab di kepalaku. Warna itu berputar beraturan pada satu titik pusat di kejauhan sana. Mereka menyatu, masuk ke titik itu. Semakin kecil, semakin kecil dan hilang. Tanpa aba-aba, titik kecil itu seketika meledak. Memuntahkan jutaan warna ke seluruh isi semesta, mereka melebur pada tiap batang pohon, pada tanah, pada langit, menutup matahari. Bumi ini jadi Wonderland.

Ada suara-suara yang terus bergaung di kepalaku. Suara detak jantung, gemerisik daun yang terdengar seperti sedang berkomunikasi, bahkan aku bisa mendengar suara air mengalir seperti sungai yang berasal dari tiap aliran darahku. Apa ini?

“Jangan bertanya, mulailah menjawab.” suara Lucy terdengar. Aku melihat sekitar, berharap menemukan wujudnya di dekatku tapi nihil. Hanya ada aku di tengah hutan berwarna-warni.

“Kenapa kamu di sini?” aku dihakimi lagi oleh pertanyaan dari entah. Aku masih tidak bisa menjawab.

“Kenapa kamu pergi?
“Dari mana kamu pergi?
“Sejauh mana kamu pergi?
“Apa yang sudah kamu temukan?
“Di mana tujuanmu?

Pertanyaan itu berdatangan, menusuk setiap bagian kepalaku sebagai tugas yang harus segera dikerjakan. Aku tidak mengerti maksud dari semua ini. Apa-apaan ini? Apa aku gila? Siapa Lucy? Kenapa suaranya bersarang di kepalaku? Ada apa dengan dunia ini? Warna-warna apa ini?

“Berhenti bertanya! Jawablah!” suara Lucy tegas menindasku di dalam kepala yang makin riuh. Aku takut. Ini semua mimpi. Tidak, aku tidak gila. Lucy, aku tidak tahu siapa dia tapi aku harus menyingkirkannya dari kepalaku. Dia hanyalah penghuni mimpi yang merusak tidurku. Dunia ini bukanlah apa-apa, hanya mimpi. Ini adalah warna mimpi. Ini mimpi. Seseorang, tolong, bangunkan aku.

“Bernapaslah, jawabanmu bukan sesuatu yang harus kau pikirkan. Jawaban itu mengalir di tiap unsur hidupmu.” suara Lucy masih terdengar di kepalaku.

Ini tidak masuk akal. Aku menarik napas sedalam yang aku bisa, menahannya di peparuku yang membengkak dan melepaskannya perlahan. Aku masih belum bangun dari mimpi ini tapi aku mendapatkan ketenangan. Suara-suara di kepalaku tidak seintens tadi. Aku terus menarik napas dengan teratur, membuangnya bersama segala remah dan debu yang mengganggu jalan berpikirku.  Aku menjatuhkan diri dan duduk bersila di tanah, memejamkan mata sembari terus mengatur napas. Kegelapan ini tenang, berdenyut beriringan dengan napas yang aku alunkan. Suara-suara di kepalaku makin melemah tapi aku masih bisa mendengar pertanyaan-pertanyaan itu berbisik menunggu jawaban.

Kegelapan ini adalah aku, jawaban dari tiap pertanyaan di kepalaku tersimpan di sini. Dari mana aku pergi? Aku pergi dari kegelapan, dari tiada, dari bukan apapun. Kenapa aku pergi? Karena aku harus atau mungkin aku dipaksa. Sejauh mana aku pergi? Sangat jauh, menjadikan aku segalanya; terang, ada, manusia, setan, Tuhan, aku adalah segalanya. Apa saja yang aku dapat? Terlalu banyak; cinta, luka, jerat, khianat, terlalu banyak. Kenapa aku di sini? … jawabannya hilang, aku tidak bisa menjawab yang satu ini, kenapa? Aku membuka mata, hutan ini masih berwarna. Yang berbeda, sekarang Lucy mewujud lagi di hadapanku. Ia tersenyum.

“Kita berdua masih muda, masih banyak yang harus kita rasa. Masih panjang jalan yang harus kita jelang,” kata Lucy lembut.

“Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu tapi ada beberapa yang tidak aku mengerti. Ini aneh, mana bisa aku menjawab kalau jawabannya sendiri tidak aku mengerti?”

“Kita masih bayi, sebelum itu semua, banyak yang harus kita mengerti. Jadi, kenapa kamu di sini?”

“Kamu sengaja buat aku pusing, ya?” Lucy tertawa kemudian mengulurkan tangan kanannya ke depanku.

“Untuk yang ini, jawabannya hanya ada padaku.” Aku menggapai tangannya, menangkupkan telapak tangan kananku di atas tangannya. Ia menutup mata. Selanjutnya, yang aku lihat tak kalah gila dari hal-hal tadi. Ia berubah lagi menjadi kombinasi jutaan warna dan menelusup masuk ke tubuhku lewat tangan ini. Setelah ia masuk dengan sempurna dan menyatu denganku, aku mendapat satu jawaban.

Lysergic acid diethylamide.” Kalimat itu keluar dari mulutku. Aku tersenyum kecut.
“Sialan.”

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook